kenti dan memi

Gue mau ngebahas soal “Pengaruh atribut-atribut sosial pada kata tertentu yang dianggap tabu dan penerimaan pada pola pikir individu” , mampus ga lo, berasa baca judul skripsi (peace Ndil..hihi).

It’s a random topic yang pernah kebahas antara gue dan Mithya.

Ini tentang beberapa kata yang dianggap saru, berkonotasi negative dan hampir jadi semacam phobia di kepala kita. Kata-kata serapah seperti k*nt*l, m*m*k, b*ngs*t, dsb. Gue ga pernah sanggup ngomong kenti tapi bisa nyantai ngomong PENIS. Mithya bisa ngomong vagina tapi ga bisa ngomong m*m*k dan beberapa teman bahkan ga bisa nyebut kata serapah sama sekali. Dalam keadaan apapun.Dan ini ga cuma terjadi di Indonesia, dari random sampling yang Mithya lakuin, temen-temennya yang beda negara juga kesulitan untuk menggunakan bahasa ibu mereka untuk menyebut k*nt*l karena konotasi negative pada si kata.Padahal itu cuma kata – gabungan beberapa hurup , tapi kenapa kita bisa begitu ‘takut’ buat mengucapkannya?

Apa bedanya kenti dan penis? Gue tau itu alat kelamin laki-laki. Tapi kenapa gue ga bisa nyebut k*nt*l, hanya karena menurut kepala gue itu kata tabu yang ga pantas diucapin. Cck.Cck. Attachment social kenceng banget ya di kepala. Apa yang layak dan tidak buat kita ucapkan banyak terpengaruh dari nilai yang diberikan masyarakat.

Mithya nambahin kenapa kita ga bisa nyebut beberapa kata itu karena bahasa juga punya strata. Penggunaan kata mencerminkan status social. Contohnya di bahasa Jawa yang mengenal 4 tingkatan, anjing misalnya, bisa di sebut, asu ataupun segawon. Segawon memiliki strata lebih tinggi dari pada asu. Makes sense, kalau kita ga mau menggunakan kata-kata yang dianggap tabu karena status social yang kita mau jaga.

Terinspirasi dari film 500 Days of Summer, gue melakukan eksperimen. Gue nantang diri gue sendiri untuk menyebut kata yang gue takutin itu. Dan its fun. Haha. Waktu di motor, sambil nyetir, gue nyebut “k*nt*l” …dari yang canggung, dengan suara aneh kaya kecekek, berasa kaya mau nyebut “He-Who-Must-Not-Be-Named" hahaha. Sampai akhirnya gue bisa mengucapkan dengan suara datar disambung ngakak sendiri. Wow. It’s deliberating. I am not afraid of the words anymore. Seperti kata seorang temen yang nampaknya sudah berhasil nyebut ‘bangsat’, bangsat cuma 7 huruf kalo disebutin tanpa emosi.

Di plurk gue sempet nantangin teman-teman buat ngatasin phobia akan si kata yang mereka pilih sendiri. Ga ada intensi gue untuk ngajakin my fellas untuk nyerapah. I just want to show you guys, indeed it is a fun thing bisa ngechallenge otak lo sendiri. Ternyata kita bisa memberikan label baru. Kita bisa bebas dari tatanan yang diberikan otak. Kalo kita bisa melakukan di hal yang kecil kaya gini, mungkin kita bisa ngatasin phobia. Kan ada thu orang yang phobianya akut, ama kucing misalnya, sampai untuk nyebut kata kucing aja ga bisa karena takut.

Pun, setelah berhasil mengucapkan kenti dengan suara ga bisa dibilang nyantai, masih kaya kecekik, I am not gonna say the words for daily conversation. Tetap ga sopan buat gue nyebut kata-kata itu. Tapi gue tau, kalau diperlukan dan pada tempatnya, gue berani dan mampu menyebutkannya.

Anyway, gue tetap nantangin lo semua, buat ngatasin phobia kata-kata lo. Jadi, cari serapah apa yang ga bisa lo ucapin dan coba buat ngucapin or at least tulis. Do it in private kalo lo takut ama reaksi lo sendiri. See what you really feel. Buat gue, tantangan ini membebaskan. =)

KENTI. Hahaha